Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? dan Kami telah menghilangkan daripada bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmu lah hendaknya kamu berharap. (Surat Al Insyirah)

Wednesday, January 26, 2011

74. Jiwa yang Mudah Terluka

Sebagian besar dari jiwa-jiwa kita adalah jiwa yang mudah terluka. Namun, hati yang mudah terluka tidak sama dengan hati yang lemah. Lalu, bagaimana kita menggunakan lukanya hati bukan sebagai alasan untuk tenggelam dalam kesedihan, dan justru menjadikan diri kita pribadi yang patut diperhitungkan?

Kita sering mengatakan alamiah bahwa daun yang tidak terawat atau daun yang terekspos penyakit akan menjadi sakit. Alamiah juga kita menggunakan istilah manusiawi. Manusiawi bahwa kita lemah, kita lupa, kita salah, kita membuat kecerobohan dalam keputusan-keputusan kita.

Mengelola Lukanya Hati

Kata manusiawi kerap digunakan sebagai alasan untuk membenarkan kesalahan dan kelemahan. Padahal manusiawi juga bagi kita untuk menjadi pribadi yang hebat, yang kaya, yang mendamaikan orang lain, yang berwenang dan berpengaruh bagi kebaikan kehidupan sesama.

Maka marilah kita mengelola luka hati, bukan sebagai alasan untuk mengijinkan diri rendah dan tenggelam dalam penderitaan. Tetapi marilah kita menggunakan galaunya, pedihnya hati itu sebagai tenaga untuk mencapai kualitas kemanusiawian kita yang tertinggi. Marilah kita menjadi manusia baik yang secara manusiawi menjadi pribadi yang memastikan, bahwa semua ciptaan Tuhan terpelihara dengan baik dan indah kelestariannya.

Sebagai contoh, ada orang yang memilih membiarkan hatinya terluka dan mengurangi kualitas kehadirannya dalam kehidupan ini. Mengapa kita tidak memutuskan apapun rasa hati kita, kita tetap berpakaian sebaik mungkin, tampil sewangi mungkin, wajah seramah mungkin, menjabat tangan sehangat mungkin. Karena lukanya hati adalah urusan pribadi kita. Marilah mulai dari sekarang melihat bahwa yang disebut manusiawi, yang alamiah sebagai manusia bukan alasan untuk menerima kelemahan dan kekurangan, tetapi sebagai perintah untuk menghebatkan kehidupan.

Hati yang mudah terluka itu tidak identik dengan hati yang lemah. Kita disebut lemah apabila pelukaan hati itu kita gunakan untuk merendahkan diri kita dengan cara menyedihkan diri, lalu tenggelam dalam perasaan diperlakukan tidak adil, karena sebetulnya semua orang sedih itu sedang mengasihani diri sendiri. Yang menjadikan kita kuat adalah reaksi yang baik dalam pelukaan apapun. Orang yang tidak percaya diri, berarti orang yang memutuskan dirinya tidak bisa dititipi tugas memimpin kehidupannya sendiri.

Jadi mulai dari sekarang, bantu hati kita untuk percaya bahwa kita adalah pribadi yang tetap anggun, di dalam sebesar-besarnya masalah. Tetap gagah di dalam pelukaan yang seperti apapun. Tidak ada orang yang hatinya tidak mungkin terluka, nikmati luka itu, gemetarlah , menangislah dalam keadaan itu tapi tetap lakukan yang terbaik.

Kedewasaan Mengelola Hati
Sebagian dari kita sedang menunggu kepekaan yang diturunkan oleh Tuhan yang menjadikan kita siap untuk menjadi pribadi yang berpengaruh.

Ada ungkapan yang mengatakan bahwa dalamnya laut bisa diduga, dalamnya hati siapa tahu. Tidak begitu lagi sekarang, karena mengukur dalamnya lautan itu terlalu lama. Tapi mengukur dalamnya hati itu hanya cukup memperhatikan perilaku karena perilaku bisa diamati sebentar.

Perhatikan saja, seseorang sedang bercerita yang ada angkanya apakah sekali dia ucapkan 8, maka 8 terus. Kemarin saya makan bersama 8 orang, setelah itu 9 orang, 11 orang. Berarti dia sudah berbohong. Perhatikan perilaku. Karena perilaku itu berbicara lebih keras daripada kata-kata.

Ada orang yang 30 tahun, tapi kedewasaan mentalnya seperti 50 tahun. Lantas, dipercaya untuk tugas-tugas yang bisa dipimpin oleh orang yang 30 tahun. Tapi ada orang umur 60 tahun, kedewasaan mental 26 tahun. Jadi pesannya bagi orang-orang yang sudah 50 tahun tetapi kedewasaan mentalnya masih belum sesuai. Tidak ada orang yang bisa selamat menua tanpa menua dalam kedewasaan mengelola hatinya.

Apa yang harus diubah? Sudut pandang. Ada halaman hitam, ada halaman kertas putih. Orang yang memilih melihat yang hitam, maka dia melihat hitam. Dunia ini bermacam-macam warna. Bagaimana kalau dari sekarang sikap diperbarui, yaitu tegas untuk mengatakan ini tidak akan membahagiakan untuk aku dengarkan. Ini pergaulan yang tidak akan menjadikanku pribadi yang gagah. Aku tidak akan ikuti.
Kalau kita bisa memilih jadi pribadi yang mandiri, yang tidak menunggu ditegakkan untuk tegak. Yang tidak menunggu, diikat supaya disiplin, tidak menunggu disirami supaya subur.

Mandiri untuk Kebaikan Hidup
Bagaimana kalau menjadi pribadi yang justru waktu sakit hati menegakkan diri, waktu kita lemah, menguatkan diri karena yang namanya pribadi kuat itu bukan karena tidak pernah lemah. Pribadi itu menjadi kuat karena menguatkan diri. Maka hati yang terluka menyembuhkan dirinya.

Ambil pelajaran dari tanaman di alam ini. Yang apapun dilakukan manusia atau apapun yang terjadi di alam, mereka bekerja keras untuk tumbuh. Kalau sakit mereka obati dirinya sendiri. Mereka tidak ke dokter seperti kita. Kalau mereka kekurangan air, mereka berusaha mengambil dari apapun yang ada.

Bagaimana kalau kita menjadi pribadi yang betul-betul mandiri bagi kebaikan hidup kita. Sebagian dari kita adalah jiwa-jiwa yang beruntung yang dilahirkan dari keluarga yang menuntun, diajar oleh guru-guru yang menunjukkan, dibangun, dibantu oleh orang-orang yang membesarkan. Seperti tanaman yang ditegakkan, diikat untuk dipastikan bahwa dia tumbuh tegak lurus dan gagah.

Tetapi ada yang lepas dari campur tangan orang-orang yang membimbing, sehingga walaupun dia tumbuh panjang tapi tidak mencapai ketinggian yang akan dicapai oleh orang-orang yang terdidik dengan baik.

Seperti Membanting Bola Bekel
Sebagian dari kita sedang menunggu kepekaan yang diturunkan oleh Tuhan yang menjadikannya kita siap untuk menjadi pribadi yang berpengaruh. Sebagian lagi sedang membangun kepantasan, untuk menjadi orang yang sesuai bagi tugas-tugas besar yang akan menjadikannya pribadi yang dikenali dengan kehidupan yang damai, sejahtera dan cemerlang.

Sebagian besar orang yang berhasil dan mencapai kebesaran hidup itu dulu adalah orang-orang yang pernah sangat terhina. Baik dihina oleh orang lain atau dihina oleh pendapatnya sendiri mengenai posisinya di dalam kehidupan.

Perasaan terhina itu seperti kekuatan yang membanting bola bekel ke lantai. Semakin keras penghinaan itu, semakin keras bantingan itu dalam kehidupan, semakin kita memiliki daya lenting yang naik. Mengapa tidak kita mengubah perasaan direndahkan atau rendah, menjadi kemarahan yang menjadikan kita menjadi pribadi yang hasilnya hebat sekali.

Terlalu hebat, untuk tidak diperhitungkan sebagai pribadi yang pantas bagi atasan atau organisasi kita, untuk mengubah semua peraturan dan menjadikan kita pribadi yang dikhususkan.

Waktu itu menyembuhkan segala sesuatu. Bagaimana kalau kita coba teknik itu di dalam menangani pelukaan hati. Hati kita dilukai, sakit, gemetar menahan reaksi tetapi kita memilih untuk menyibukkan diri, melakukan sesuatu yang menjadikan kita tidak bisa direndahkan lagi.

Kalau pangkat kita sudah tinggi, tidak banyak orang yang bisa merendahkan kita. Jadi bagaimana kalau waktu kita disakiti, kita terima bahwa ini karena aku tidak cukup berwibawa. Ini karena aku tidak cukup kuat, ini karena aku tidak cukup mampu.
Jadi kalau aku sibukkan diriku menjadi berwibawa, menjadi kuat dan mampu maka hatiku yang sakit itu akan menyembuhkan dirinya sendiri. Dan saat sembuh aku menjadi pribadi yang lebih kuat, yang tidak mengijinkan orang lain mengangguku. Jadi sibuk membangun kehidupan yang kuat supaya kita tidak terlena pada perasaan luka.

Tidak ada apapun yang terjadi tanpa pengetahuan dan ijin tuhan. Bahkan selembar daun jatuh pun atau yang saya petik, sudah diketahui Tuhan sebelum terjadi. Dan kalau sampai terjadi, berarti diijinkan. Itu bukan kekejaman kehidupan. Kalau kita difitnah, disalahkan, dituduh, atau didakwa. Bukan kesalahan kehidupan, itu diijinkan terjadi. Apapun yang terjadi diniatkan untuk memuliakan kita. Tuhan tidak berkonspirasi dengan para malaikat untuk mengerjai orang –orang tertentu. Jadi satu-satunya konspirasi yang harus kita yakini di langit sana adalah kemuliaan kita.

Apapun yang terjadi itu adalah bagi kemuliaan kita. Jadi begitu hati itu sakit, jangan lihat sakitnya. Tapi lihat alasan, mengapa saya disakitkan.
Yang pertama biasanya adalah menghindari keadaan yang menjadikan kita disakiti. Orang yang dikasari, biasanya memberikan ijin kepada orang lain untuk mengasari karena berbicara kasar. Pelajaran pertama dari sakitnya hati adalah mencegah keadaan, dimana kita bisa disakiti.

Membalas itu harus tetapi membalasnya harus lebih baik. Karena kalau kita disakiti kemudian membalas dengan cara yang sama, kita menjadi persis seperti orang yang melukai kita. Itu sebabnya kita itu berhak membalas kalau disakiti tapi akan lebih baik bagimu apabila memaafkan.

Eye Chatcer:

1. Hati yang mudah terluka itu tidak identik dengan hati yang lemah

2. Ada orang yang 30 tahun, tapi kedewasaan mentalnya seperti 50 tahun. Lantas, dipercaya untuk tugas-tugas yang bisa dipimpin oleh orang yang 30 tahun.

3. Sebagian besar orang yang berhasil dan mencapai kebesaran hidup itu dulu adalah orang-orang yang pernah sangat terhina. Baik dihina oleh orang lain atau dihina oleh pendapatnya sendiri mengenai posisinya di dalam kehidupan.



*Dalam Tabloid Wanita Indonesia Edisi 1099 (Januari 2011)

1 comment:

R-82 said...

selamat sore Bu...dan salam damai